Wednesday, February 1, 2012

Wahabi Salafi

Mewaspadai Gerakan Wahabi Salafi

Oleh A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin Al-Khoirot
Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang

Dalam sebuah tulisan di harian Republika edisi 3 Oktober 2011, KH. Agil Siradj menulis sebuah artikel menarik berjudul Radikalisme, Hukum dan Dakwah. Dalam tulisan tersebut ketua PBNU ini mengingatkan bahaya laten dari gerakan Islam radikal di Indonesia. Ciri khas gerakan Islam ekstrim, masih menurut Agil Siradj, adalah “orang Islam yang berpikiran sempit, kaku dalam memahami Islam, serta bersifat eksklusif.”[1] Muslim radikal muncul sejak awal Islam. Yakni, sejak era para Sahabat. Saat itu, kelompok radikal dikenal dengan sebutan kaum khawarij.

Adalah khalifah ke-3 Utsman bin Affan sendiri yang menjadi korban pertama keganasan gerakan ekstrim ini. Beliau terbunuh pada tahun ke-35 hijriah. Peristiwa ini kemudian terulang pada masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib yang juga terbunuh oleh kalangan ekstrem dari umat Islam. Komunitas ekstrem tersebut, sungguh pun pada mulanya bernuansa politik, tetapi perkembangan selanjutnya dirajut dalam sebuah ideologi yang dikenal dengan faham Khawarij.[2] Nama gerakan yang bernama Khawarij saat ini sudah tidak ada. Akan tetapi gerakan Islam yang mirip dengan gerakan Khawarij saat ini tidak saja eksis, tapi juga sedang giat-giatnya mengampanyekan ideologinya melalui berbagai sarana yang tersedia. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa Khawarij abad ke-21 ini menjelma dalam gerakan yang dikenal dengan Wahabi Salafi.

Sejarah Wahabi dan Faktor Suksesnya Penyebaran Paham Wahabi

Gerakan Wahabi didirikan pada abad ke-18 oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792) dari Najd, Arab Saudi. Ibnu Abdul Wahhab mengampanyekan usaha memberantas praktik-praktik yang dilakukan umat Islam yang dianggapnya bid’ah. Gerakan Wahabi atau Salafi berpusat di Arab Saudi. Dan didanai oleh pemerintah Arab Saudi. Gerakan Wahabi berkembang ke luar Arab Saudi karena dibawa oleh para sarjana lulusan sejumlah perguruan tinggi di Arab Saudi atau universitas di luar Arab Saudi yang mendapat bantuan finansial dan/atau tenaga pengajari dari Arab Saudi seperti LIPIA (Lembaga Ilmu Pendidikan Islam dan Bahasa Arab) yang merupakan cabang dari Universitas Muhammad Ibnu Su’ud yang berada di Riyadh Arab Saud.

Seluruh biaya operasional peguruan tinggi negeri di Arab Saudi dan di luar Arab Saudi yang berafiliasi ke universitas negara petrodolar ini disubsidi 100% oleh negara. Dan 100% mahasiswanya mendapatkan beasiswa. Oleh karena itu, tidak hersn kalau banyak pemuda Indonesia yang bermimpi untuk dapat kuliah di salah satu perguruan tinggi di Arab Saudi. Selain gratis, mendapat beasiswa penuh juga mendapat tiket pulang gratis setiap tahun. Kalau tidak dapat kuliah di Arab Saudi, minimal dapat belajar di LIPIA Jakarta yang juga memberikan beasiswa penuh. Bahkan tidak jarang ada mahasiswa UIN Syahid yang juga kuliah di LIPIA hanya untuk mendapatkan beasiswa.

Arab Saudi rela mendanai ribuan mahasiswa lokal dan internasional secara cuma-cuma tentunya dengan tujuan khusus: dalam rangka menyebarkan misi Wahabi Salafi ke seluruh dunia. Umumnya, sarjana lulusan universitas Arab Saudi sudah terkena “cuci otak”. Indikasi paling mudah adalah kecaman mereka terhadap tahlil, peringatan maulid Nabi, ziarah qubur, dan semacamnya.

Bantuan finansial tidak hanya sampai di sini. Ketika para sarjana itu pulang ke negara masing-masing, mereka masih akan tetap dapat kucuran dana dari kerajaan melalui berbagai lembaga atau organisasi binaan negara, seperti Rabithah Alam Islamy, WAMY (World Association of Muslim Youth), dan lain-lain. Bantuan finansial diberikan khususnya pada para alumnus atau non-alumni perguruan tinggi kerajaan Arab Saudi yang mendirikan lembaga pendidikan seperti sekolah atau pesantren dan membangun masjid.

Tentu, tidak ada salahnya menerima bantuan dari manapun. Apalagi kalau dari sesama muslim. Namun, yang menjadi kekhawatiran banyak kalangan adalah adanya pemaksaan—baik langsung atau tidak langsung—terhadap lembaga yang mendapat bantuan untuk ikut menyebarkan paham Wahabi. Ada beberapa kasus di mana kyai-kyai non-Wahabi yang ingin mendapat bantuan dari kerajaan Arab Saudi terpaksa tidak melaksanakan kebiasaan rutin ala pesantren seperti tahlil, atau qunut shalat Subuh saat ada peninjauan dari utusan Arab Saudi yang hendak memberi bantuan.

Gencarnya aliran dana bantuan finansial untuk lembaga-lembaga pendidikan dan masjid itu menjadi faktor utama mengapa gerakan paham Wahabi Salafi berkembang cukup pesat di Indonesia. Dan itu juga menjadi kunci jawaban mengapa kalangan aktivis Wahabi Salafi begitu bersemangat untuk menyebarkan ideologi Salafi-nya ke mana-mana.

Mengapa Takut Wahabi Salafi?

Saat ada suatu gerakan Islam seperti Wahabi Salafi yang penuh semangat dan mendapat bantuan finansial tak terbatas berkembang pesat, mengapa umat Islam harus resah? Tidakkah itu patut disyukuri? Jawaban singkatnya adalah radikalisme Wahabi Salafi sangat mengancam tidak saja NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), tapi juga kerukunan hidup antar-umat Islam dan kerukunan hidup antar-umat beragama.[3]

Dalam perspektif keamanan, apabila gerakan Salafi menjadi dominan dikhawatirkan terorisme akan semakin merajalela. Umat Islam yang masih ingin melihat Indonesia aman dan tentram tentu tidak ingin melihat negara ini seperti Pakistan yang pembunuhan antar golongan agama terjadi hampir setiap hari. [4]

Ideologi takfîr (pengkafiran), tasyrîk (pemusyrikan), tabdî` (pembid`ahan) dan tasykîk (upaya menanamkan keraguan) terhadap para ulama dan muslim dari kalangan yang tidak sepaham merupakan langkah pertama ketidakharmonisan umat. Anggapan golongan Wahabi Salafi bahwa golongan Islam lain sebagai bid’ah dan kufr akan berujung pada penghalalan darah (untuk dibunuh). Tak heran, sejak berdirinya gerakan ini, tangan mereka banyak bersimbah darah saudaranya sesama muslim.[5] Tentu mudah ditebak, apa yang akan terjadi pada penganut agama lain apabila kelompok ini sampai mendominasi Indonesia kelak.[6]

Oleh karena itu, kalangan umat Islam ahlussunnah wal jamaah pecinta damai hendaknya mewaspadai gerak gerik kelompok ini. Jangan biarkan mereka menguasai masjid-masjid. Jangan biarkan mempercayakan anak-anak kita untuk dididik di lembaga pendidikan yang mereka bina. Jangan korbankan masa depan putra-putri kita pada ideologi yang tidak mengenal kebenaran kecuali dalam dirinya sendiri. Jangan tergoda mendapat beasiswa gratis dengan resiko cuci otak.[]